Wednesday, December 4, 2013

Sejarah Desain Indonesia (Part1)

Sejarah Desain Grafis Indonesia: 1970-sekarang

Suatu hari pada pertengahan 1975, seusai acara wisuda di aula STSRI “ASRI” di jalan Gampingan, Yogyakarta, saya berada dalam perjalanan ke rumah makan Ayam Goreng Kalasan “Suharti” membonceng sepeda motor Honda yang dikemudikan oleh Fadjar Sidik (1930-2004), Ketua Jurusan Seni Lukis waktu itu (yang oleh seniman-seniman Yogyakarta dianggap sebagai Bapak Seni Lukis Modern Indonesia). [1] “Kamu mesti ke Jakarta, Han” katanya, “Kalau sudah menguasai Jakarta, yang lainnya lebih mudah”. Rupanya begitulah citra umum mengenai Jakarta tahun 1970an, diakibatkan oleh politik Orde Baru yang serba sentralistik, yang mengubah wajah Jakarta bagai magnet bagi angkatan kerja, termasuk calon desainer grafis. Di bawah pemerintahan Soeharto, kondisi politik yang dengan berbagai cara diupayakan stabil itu telah berakibat pada derasnya investasi asing yang masuk, menjadi bahan bakar bagi pembangunan infrastruktur di segala sektor, terutama di kota Jakarta.

Terlepas dari sepiring nasi hangat dengan ayam goreng lezat yang kami nikmati sesudahnya, acara wisudanya sendiri berjalan sangat singkat, serba dingin dan kaku, dan menegangkan. Bayangkan, mungkin baru kali itu pernah terjadi dalam sejarah pendidikan di Indonesia, bahkan di dunia, bahwa sebuah acara wisuda perguruan tinggi (kecuali mungkin di AKABRI) dipimpin oleh seorang petinggi militer, sementara semua pintu masuk ke kampus dijaga ketat oleh tentara, dan hanya yang berkepentingan atau yang tidak termasuk di dalam daftar hitam yang diijinkan masuk.

Peristiwa tersebut di atas saya alami ketika dunia seni rupa Indonesia, terutama di STSRI “ASRI”, dan juga FSRD ITB, baru saja diguncang oleh peristiwa yang disebut Desember Hitam, yang pecah di ujung tahun 1974, adalah sebuah gerakan perlawanan para seniman muda yang diawali dengan protes terhadap pemberian penghargaan pemerintah kepada lima pelukis, yang karyanya dikritisi sebagai bercorak ragam sama (seragam) yaitu dekoratif, dan lebih mengabdi kepada kepentingan ‘konsumtif’.

Gerakan Seni Rupa Baru (1975)

Peristiwa Desember Hitam itu adalah cikal bakal terbentuknya Gerakan Seni Rupa Baru (GSRB) pada tahun 1975 yang kelak menghantarkan dunia seni rupa Indonesia ke pemahaman baru mengenai estetika, pengungkapan nilai dan fungsi seni. Bagi GSRB, kesenian tidak harus dikategorikan menurut jenjang, ada kesenian kelas wahid dan ada kesenian kelas kambing. GSRB menolak batasan antara seni murni dan seni terap, dan semua fenomena kesenian termasuk desain pun dianggap sederajat. Sepanjang perjalanannya (1975-1979, 1987), eksponen GSRB yang juga desainer grafis tercatat antara lain FX Harsono, Syahrinur Prinka (1947-2004), Wagiono Sunarto, Priyanto Sunarto, Gendut Riyanto (1955-2003), Harris Purnama dan Oentarto.

Pameran desain grafis pertama di Indonesia

Spirit untuk tidak lagi mempercayai penjenjangan antara seni murni dan seni terap menghantar tiga desainer grafis mengabarkan eksistensinya melalui sebuah pameran desain grafis di Pusat Kebudayaan Belanda “Erasmus Huis” pada tanggal 16-24 Juni 1980, sebuah riak kecil yang mengusung misi utama memperkenalkan profesi desainer grafis ke publik yang lebih luas. Pameran bertajuk “Pameran Rancangan Grafis Hanny, Gauri, Didit” ini kelak tercatat sebagai pameran desain grafis pertama di Indonesia yang diadakan oleh desainer grafis Indonesia. [2]

Organisasi desainer grafis pertama di Indonesia

Pameran itu juga menjadi ajang berkumpulnya desainer-desainer grafis masa itu yang sedang menggalang pertemuan-pertemuan intensif di jalan Padalarang 1-A, Jakarta – kantor majalah “Visi” (d/h “Maskulin”) dan “Sport Otak” – untuk mempersiapkan dibentuknya sebuah organisasi yang mewadahi desainer grafis Indonesia. Organisasi ini kemudian diresmikan pada tanggal 24 September 1980 dengan nama IPGI (Ikatan Perancang Grafis Indonesia) bersamaan dengan penyelenggaraan sebuah pameran besar bertajuk “Grafis ‘80” di Wisma Seni Mitra Budaya, Jalan Tanjung 34, Jakarta. Inilah upaya terbesar desainer grafis angkatan ‘70 untuk menyatakan eksistensinya, agar masyarakat apresiatif terhadap bidang ini. “Pameran itu seolah menyadarkan kita, bahwa seni tak hanya yang bisa kita tonton dalam pertunjukan formal saja, tapi juga pada yang melekat dalam kehidupan sehari-hari kita”. [3]

Studio-studio desain grafis pertama di Indonesia

Sepanjang tahun 1970 dan seterusnya mulai bertumbuh perusahaan-perusahaan desain grafis yang sepenuhnya dipimpin oleh desainer grafis. Berbeda dengan biro iklan, perusahaan-perusahaan ini mengkhususkan diri pada desain non-iklan, semuanya berada di Jakarta: Vision (Karnadi Mardio), Grapik Grapos Indonesia (Wagiono Sunarto, Priyanto Sunarto, S Prinka), Citra Indonesia (Tjahjono Abdi, Hanny Kardinata) dan GUA Graphic (Gauri Nasution). Dan pada dekade berikutnya, di Jakarta muncul antara lain Gugus Grafis (FX Harsono, Gendut Riyanto), Polygon (Ade Rastiardi, Agoes Joesoef), Adwitya Alembana (Iwan Ramelan, Djodjo Gozali), Headline (Sita Subijakto), BD+A (Irvan Noe’man), dan di Bandung: Zee Studio (Iman Sujudi, Donny Rachmansjah), MD Grafik (Markoes Djajadiningrat), Studio “OK!” (Indarsjah Tirtawidjaja) dan lain-lain.

Setiap studio membawa serta kekhasannya masing-masing sebagai akibat dari ‘ideologi’ desainernya. Misi keIndonesiaan menuntun cara kerja Citra Indonesia dalam mengolah karya-karya desainnya. Di dalam Citra Indonesia ada seorang tokoh budaya, SJH Damais, yang menjadi ‘kamus berjalan’ bagi pendekatan-pendekatan yang ingin diterapkan. Sementara Gugus Grafis berupaya setia dengan ideologi GSRB-nya walau tidak seluruh nilai dan praksis seni rupa kontemporer bisa diterapkan pada semua kesempatan yang didapat. Pada tahun 1973 ada Decenta (Design Centre Association) di Bandung, yang terlibat AD Pirous, G Sidharta, Adrian Palar, Sunaryo, T Sutanto, Priyanto Sunarto. Saat itu ada pertentangan antara pandangan bahwa seni itu universal dengan pandangan seni yang digali dari bumi sendiri. Decenta menjadi tempat menggali khasanah Indonesia yang diterapkan dalam seni (grafis, lukis, patung) dan desain (pameran, elemen estetis, furnitur, curtain, greeting card, sampul buku). Pendekatannya formal atau total, formal melalui olahan artefak budaya, dan total melalui penghayatan terhadap spirit yang hidup dalam masyarakat tradisi. Meski bukan studio desain grafis, Decenta sudah melayani pekerjaan-pekerjaan desain grafis (walau masih sedikit).

Pada masa ini, studio mana pun ‘dituntut’ bisa mengerjakan pekerjaan apa pun, klien datang dengan pekerjaan mulai dari desain logo sampai kepada ilustrasi sampul kaset, desainer bak superman atau superwoman. Studio grafis tidak punya pilihan lain supaya bertahan hidup. Ilustrasi menggunakan teknik air brush, dengan gaya hyper-realism dan Pop Art menjadi trend waktu itu, sejalan dengan perkembangan ilustrasi di dunia maju (majalah “Tempo” dan “Zaman” adalah dua penerbitan yang mengakomodasi teknik ini untuk sampulnya). Air brush gun, pensil, kuas, cutter, Cow Gum, Spraymount dan huruf gosok Letraset/Mecanorma adalah alat-alat yang lazim bertengger di meja kerja desainer waktu itu.

Pertumbuhan usaha di bidang desain grafis serentak dengan perkembangan di bidang pendidikannya. Menyusul STSRI “ASRI” di Yogyakarta dan FSRD ITB di Bandung yang sudah ada terlebih dulu, pada tahun 1976 juga dibuka di LPKJ (Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta) dan kemudian di Universitas Trisakti pada tahun 1978.

Pameran IPGI ke-2 digelar pada tanggal 22-31 Agustus 1983 di Galeri Utama TIM, Jakarta dengan tajuk “Grafis ‘83”. Ini adalah untuk pertama kalinya – setelah 15 tahun berdiri – Dewan Kesenian Jakarta dan TIM (Taman Ismail Marzuki) menyelenggarakan sebuah pameran seni terap, yang secara tidak langsung merupakan pengakuan resmi otoritas kesenian atas desain grafis sebagai seni. Sudarmadji, Ketua Dewan Pekerja Harian Dewan Kesenian Jakarta mengungkap bahwa “Kemasan pasta gigi atau sabun, jika isinya sudah diambil dan digunakan, maka kemasan (pembungkusnya) langsung begitu saja dibuang. Poster atau reklame yang terpampang di jalan, begitu tahu isinya, habis perkara. Jarang yang penghayatannya dilanjutkan dari aspek artistik dan estetisnya.” [4]

Selanjutnya bersama JAGDA (Japan Graphic Designer Association), IPGI pernah menyelenggarakan dua pameran besar, yaitu pada 9-15 Februari 1988 di Galeri Ancol, Pasar Seni Ancol, Jakarta yang dilanjutkan di Aula Timur ITB, Jalan Ganesha 10, Bandung, dan pada tahun 1989 berturut-turut di tiga kota: 23-30 Maret di Gedung Pameran Seni Rupa Depdikbud (sekarang Galeri Nasional) di jalan Merdeka Timur 14, Jakarta; 12-20 April di Yayasan Pusat Kebudayaan, jalan Naripan, Bandung dan 26 April-3 Mei di Kampus Institut Seni Indonesia (d/h STSRI “ASRI”) di jalan Gampingan, Yogya.

Selama perjalanannya, desainer yang aktif menggerakkan roda IPGI: Gauri Nasution, Hanny Kardinata (Bendahara), Karnadi Mardio (Wakil Ketua), Priyanto Sunarto, Sadjiroen, Syahrinur Prinka, Tjahjono Abdi, Wagiono Sunarto (Ketua), Yongky Safanayong.

Upaya menyejajarkan desain dengan cabang kesenirupaan yang lain, juga menjadi landasan kurasi “Jakarta Art & Design Expo ‘92” atau “JADEX‘92” yang digelar di Jakarta Design Center tanggal 25-30 September 1992. Untuk pertama kalinya semua cabang seni rupa – seni lukis, seni patung, seni grafis, seni serat, seni keramik, instalasi, desain interior, desain grafis, desain produk, desain tekstil, desain busana, desain aksesori, kria kayu, kria keramik dan kria bambu – ‘dipersatukan’ dalam sebuah pameran besar. “Sejauh ini, pengkajian kemungkinan persentuhan itu – khususnya melalui sebuah pameran – belum dilakukan. Pameran-pameran yang diselenggarakan umumnya berkaitan dengan keutamaan masing-masing cabang seni rupa yang lalu lebih menunjukkan perbedaan. Pameran desain, mengutamakan aspek fungsi dan kaitannya dengan berbagai bidang usaha. Pameran lukisan, patung atau grafis, bila tak menekankan tujuan menjual, terlalu sibuk dengan apresiasi”. [5]

IPGI ganti nama jadi ADGI (Asosiasi Desainer Grafis Indonesia)

Pada tanggal 7 Mei 1994 IPGI menyelenggarakan kongres pertamanya di Jakarta Design Center dimana berlangsung penggantian nama organisasi menjadi ADGI (Asosiasi Desainer Grafis Indonesia). Pada saat itu dilakukan juga serah terima jabatan dari pengurus IPGI ke pengurus ADGI (Ketua: Iwan Ramelan, Sekretaris: Irvan Noe’man), pemilihan President Elect (Gauri Nasution), pengesahan AD/ART dan kode etik serta pengesahan Majelis Desain Grafis. [6]

Seirama dengan pembangunan yang sedang berjalan dengan pesat pada periode 90an, profesi desainer grafis pun semakin dikenal, demand masyarakat juga meningkat, dan didorong oleh faktor teknologi yang semakin canggih dan memudahkan (komputerisasi terjadi di masa ini), terjadilah pertumbuhan jumlah perusahaan desain grafis, di antaranya di Jakarta: LeBoYe (Hermawan Tanzil), MakkiMakki (Sakti Makki), Afterhours (Lans Brahmantyo), Avigra (Ardian Elkana), di Yogyakarta: Petakumpet (M Arief Budiman) dan di Bali: Matamera (Arief “Ayip” Budiman). Jenis pekerjaan hampir spesifik: brand/corporate identity, annual report, company profile, marketing brochure, packaging, calendar.

No comments:

Post a Comment