Sejarah Desain Grafis Indonesia: 1970-sekarang
Suatu hari pada pertengahan 1975, seusai acara wisuda di aula STSRI
“ASRI” di jalan Gampingan, Yogyakarta, saya berada dalam perjalanan ke
rumah makan Ayam Goreng Kalasan “Suharti” membonceng sepeda motor Honda
yang dikemudikan oleh Fadjar Sidik (1930-2004), Ketua Jurusan Seni Lukis
waktu itu (yang oleh seniman-seniman Yogyakarta dianggap sebagai Bapak
Seni Lukis Modern Indonesia). [1] “Kamu mesti ke Jakarta, Han” katanya,
“Kalau sudah menguasai Jakarta, yang lainnya lebih mudah”. Rupanya
begitulah citra umum mengenai Jakarta tahun 1970an, diakibatkan oleh
politik Orde Baru yang serba sentralistik, yang mengubah wajah Jakarta
bagai magnet bagi angkatan kerja, termasuk calon desainer grafis. Di
bawah pemerintahan Soeharto, kondisi politik yang dengan berbagai cara
diupayakan stabil itu telah berakibat pada derasnya investasi asing yang
masuk, menjadi bahan bakar bagi pembangunan infrastruktur di segala
sektor, terutama di kota Jakarta.
Terlepas dari sepiring nasi hangat dengan ayam goreng lezat yang kami
nikmati sesudahnya, acara wisudanya sendiri berjalan sangat singkat,
serba dingin dan kaku, dan menegangkan. Bayangkan, mungkin baru kali itu
pernah terjadi dalam sejarah pendidikan di Indonesia, bahkan di dunia,
bahwa sebuah acara wisuda perguruan tinggi (kecuali mungkin di AKABRI)
dipimpin oleh seorang petinggi militer, sementara semua pintu masuk ke
kampus dijaga ketat oleh tentara, dan hanya yang berkepentingan atau
yang tidak termasuk di dalam daftar hitam yang diijinkan masuk.
Peristiwa tersebut di atas saya alami ketika dunia seni rupa Indonesia,
terutama di STSRI “ASRI”, dan juga FSRD ITB, baru saja diguncang oleh
peristiwa yang disebut Desember Hitam, yang pecah di ujung tahun 1974,
adalah sebuah gerakan perlawanan para seniman muda yang diawali dengan
protes terhadap pemberian penghargaan pemerintah kepada lima pelukis,
yang karyanya dikritisi sebagai bercorak ragam sama (seragam) yaitu
dekoratif, dan lebih mengabdi kepada kepentingan ‘konsumtif’.
Gerakan Seni Rupa Baru (1975)
Peristiwa Desember Hitam itu adalah cikal bakal terbentuknya Gerakan
Seni Rupa Baru (GSRB) pada tahun 1975 yang kelak menghantarkan dunia
seni rupa Indonesia ke pemahaman baru mengenai estetika, pengungkapan
nilai dan fungsi seni. Bagi GSRB, kesenian tidak harus dikategorikan
menurut jenjang, ada kesenian kelas wahid dan ada kesenian kelas
kambing. GSRB menolak batasan antara seni murni dan seni terap, dan
semua fenomena kesenian termasuk desain pun dianggap sederajat.
Sepanjang perjalanannya (1975-1979, 1987), eksponen GSRB yang juga
desainer grafis tercatat antara lain FX Harsono, Syahrinur Prinka
(1947-2004), Wagiono Sunarto, Priyanto Sunarto, Gendut Riyanto
(1955-2003), Harris Purnama dan Oentarto.
Pameran desain grafis pertama di Indonesia
Spirit untuk tidak lagi mempercayai penjenjangan antara seni murni dan
seni terap menghantar tiga desainer grafis mengabarkan eksistensinya
melalui sebuah pameran desain grafis di Pusat Kebudayaan Belanda
“Erasmus Huis” pada tanggal 16-24 Juni 1980, sebuah riak kecil yang
mengusung misi utama memperkenalkan profesi desainer grafis ke publik
yang lebih luas. Pameran bertajuk “Pameran Rancangan Grafis Hanny,
Gauri, Didit” ini kelak tercatat sebagai pameran desain grafis pertama
di Indonesia yang diadakan oleh desainer grafis Indonesia. [2]
Organisasi desainer grafis pertama di Indonesia
Pameran itu juga menjadi ajang berkumpulnya desainer-desainer grafis
masa itu yang sedang menggalang pertemuan-pertemuan intensif di jalan
Padalarang 1-A, Jakarta – kantor majalah “Visi” (d/h “Maskulin”) dan
“Sport Otak” – untuk mempersiapkan dibentuknya sebuah organisasi yang
mewadahi desainer grafis Indonesia. Organisasi ini kemudian diresmikan
pada tanggal 24 September 1980 dengan nama IPGI (Ikatan Perancang Grafis
Indonesia) bersamaan dengan penyelenggaraan sebuah pameran besar
bertajuk “Grafis ‘80” di Wisma Seni Mitra Budaya, Jalan Tanjung 34,
Jakarta. Inilah upaya terbesar desainer grafis angkatan ‘70 untuk
menyatakan eksistensinya, agar masyarakat apresiatif terhadap bidang
ini. “Pameran itu seolah menyadarkan kita, bahwa seni tak hanya yang
bisa kita tonton dalam pertunjukan formal saja, tapi juga pada yang
melekat dalam kehidupan sehari-hari kita”. [3]
Studio-studio desain grafis pertama di Indonesia
Sepanjang tahun 1970 dan seterusnya mulai bertumbuh
perusahaan-perusahaan desain grafis yang sepenuhnya dipimpin oleh
desainer grafis. Berbeda dengan biro iklan, perusahaan-perusahaan ini
mengkhususkan diri pada desain non-iklan, semuanya berada di Jakarta:
Vision (Karnadi Mardio), Grapik Grapos Indonesia (Wagiono Sunarto,
Priyanto Sunarto, S Prinka), Citra Indonesia (Tjahjono Abdi, Hanny
Kardinata) dan GUA Graphic (Gauri Nasution). Dan pada dekade berikutnya,
di Jakarta muncul antara lain Gugus Grafis (FX Harsono, Gendut
Riyanto), Polygon (Ade Rastiardi, Agoes Joesoef), Adwitya Alembana (Iwan
Ramelan, Djodjo Gozali), Headline (Sita Subijakto), BD+A (Irvan
Noe’man), dan di Bandung: Zee Studio (Iman Sujudi, Donny Rachmansjah),
MD Grafik (Markoes Djajadiningrat), Studio “OK!” (Indarsjah
Tirtawidjaja) dan lain-lain.
Setiap studio membawa serta kekhasannya masing-masing sebagai akibat
dari ‘ideologi’ desainernya. Misi keIndonesiaan menuntun cara kerja
Citra Indonesia dalam mengolah karya-karya desainnya. Di dalam Citra
Indonesia ada seorang tokoh budaya, SJH Damais, yang menjadi ‘kamus
berjalan’ bagi pendekatan-pendekatan yang ingin diterapkan. Sementara
Gugus Grafis berupaya setia dengan ideologi GSRB-nya walau tidak seluruh
nilai dan praksis seni rupa kontemporer bisa diterapkan pada semua
kesempatan yang didapat. Pada tahun 1973 ada Decenta (Design Centre
Association) di Bandung, yang terlibat AD Pirous, G Sidharta, Adrian
Palar, Sunaryo, T Sutanto, Priyanto Sunarto. Saat itu ada pertentangan
antara pandangan bahwa seni itu universal dengan pandangan seni yang
digali dari bumi sendiri. Decenta menjadi tempat menggali khasanah
Indonesia yang diterapkan dalam seni (grafis, lukis, patung) dan desain
(pameran, elemen estetis, furnitur, curtain, greeting card, sampul
buku). Pendekatannya formal atau total, formal melalui olahan artefak
budaya, dan total melalui penghayatan terhadap spirit yang hidup dalam
masyarakat tradisi. Meski bukan studio desain grafis, Decenta sudah
melayani pekerjaan-pekerjaan desain grafis (walau masih sedikit).
Pada masa ini, studio mana pun ‘dituntut’ bisa mengerjakan pekerjaan apa
pun, klien datang dengan pekerjaan mulai dari desain logo sampai kepada
ilustrasi sampul kaset, desainer bak superman atau superwoman. Studio
grafis tidak punya pilihan lain supaya bertahan hidup. Ilustrasi
menggunakan teknik air brush, dengan gaya hyper-realism dan Pop Art
menjadi trend waktu itu, sejalan dengan perkembangan ilustrasi di dunia
maju (majalah “Tempo” dan “Zaman” adalah dua penerbitan yang
mengakomodasi teknik ini untuk sampulnya). Air brush gun, pensil, kuas,
cutter, Cow Gum, Spraymount dan huruf gosok Letraset/Mecanorma adalah
alat-alat yang lazim bertengger di meja kerja desainer waktu itu.
Pertumbuhan usaha di bidang desain grafis serentak dengan perkembangan
di bidang pendidikannya. Menyusul STSRI “ASRI” di Yogyakarta dan FSRD
ITB di Bandung yang sudah ada terlebih dulu, pada tahun 1976 juga dibuka
di LPKJ (Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta) dan kemudian di
Universitas Trisakti pada tahun 1978.
Pameran IPGI ke-2 digelar pada tanggal 22-31 Agustus 1983 di Galeri
Utama TIM, Jakarta dengan tajuk “Grafis ‘83”. Ini adalah untuk pertama
kalinya – setelah 15 tahun berdiri – Dewan Kesenian Jakarta dan TIM
(Taman Ismail Marzuki) menyelenggarakan sebuah pameran seni terap, yang
secara tidak langsung merupakan pengakuan resmi otoritas kesenian atas
desain grafis sebagai seni. Sudarmadji, Ketua Dewan Pekerja Harian Dewan
Kesenian Jakarta mengungkap bahwa “Kemasan pasta gigi atau sabun, jika
isinya sudah diambil dan digunakan, maka kemasan (pembungkusnya)
langsung begitu saja dibuang. Poster atau reklame yang terpampang di
jalan, begitu tahu isinya, habis perkara. Jarang yang penghayatannya
dilanjutkan dari aspek artistik dan estetisnya.” [4]
Selanjutnya bersama JAGDA (Japan Graphic Designer Association), IPGI
pernah menyelenggarakan dua pameran besar, yaitu pada 9-15 Februari 1988
di Galeri Ancol, Pasar Seni Ancol, Jakarta yang dilanjutkan di Aula
Timur ITB, Jalan Ganesha 10, Bandung, dan pada tahun 1989 berturut-turut
di tiga kota: 23-30 Maret di Gedung Pameran Seni Rupa Depdikbud
(sekarang Galeri Nasional) di jalan Merdeka Timur 14, Jakarta; 12-20
April di Yayasan Pusat Kebudayaan, jalan Naripan, Bandung dan 26 April-3
Mei di Kampus Institut Seni Indonesia (d/h STSRI “ASRI”) di jalan
Gampingan, Yogya.
Selama perjalanannya, desainer yang aktif menggerakkan roda IPGI: Gauri
Nasution, Hanny Kardinata (Bendahara), Karnadi Mardio (Wakil Ketua),
Priyanto Sunarto, Sadjiroen, Syahrinur Prinka, Tjahjono Abdi, Wagiono
Sunarto (Ketua), Yongky Safanayong.
Upaya menyejajarkan desain dengan cabang kesenirupaan yang lain, juga
menjadi landasan kurasi “Jakarta Art & Design Expo ‘92” atau
“JADEX‘92” yang digelar di Jakarta Design Center tanggal 25-30 September
1992. Untuk pertama kalinya semua cabang seni rupa – seni lukis, seni
patung, seni grafis, seni serat, seni keramik, instalasi, desain
interior, desain grafis, desain produk, desain tekstil, desain busana,
desain aksesori, kria kayu, kria keramik dan kria bambu – ‘dipersatukan’
dalam sebuah pameran besar. “Sejauh ini, pengkajian kemungkinan
persentuhan itu – khususnya melalui sebuah pameran – belum dilakukan.
Pameran-pameran yang diselenggarakan umumnya berkaitan dengan keutamaan
masing-masing cabang seni rupa yang lalu lebih menunjukkan perbedaan.
Pameran desain, mengutamakan aspek fungsi dan kaitannya dengan berbagai
bidang usaha. Pameran lukisan, patung atau grafis, bila tak menekankan
tujuan menjual, terlalu sibuk dengan apresiasi”. [5]
IPGI ganti nama jadi ADGI (Asosiasi Desainer Grafis Indonesia)
Pada tanggal 7 Mei 1994 IPGI menyelenggarakan kongres pertamanya di
Jakarta Design Center dimana berlangsung penggantian nama organisasi
menjadi ADGI (Asosiasi Desainer Grafis Indonesia). Pada saat itu
dilakukan juga serah terima jabatan dari pengurus IPGI ke pengurus ADGI
(Ketua: Iwan Ramelan, Sekretaris: Irvan Noe’man), pemilihan President
Elect (Gauri Nasution), pengesahan AD/ART dan kode etik serta pengesahan
Majelis Desain Grafis. [6]
Seirama dengan pembangunan yang sedang berjalan dengan pesat pada
periode 90an, profesi desainer grafis pun semakin dikenal, demand
masyarakat juga meningkat, dan didorong oleh faktor teknologi yang
semakin canggih dan memudahkan (komputerisasi terjadi di masa ini),
terjadilah pertumbuhan jumlah perusahaan desain grafis, di antaranya di
Jakarta: LeBoYe (Hermawan Tanzil), MakkiMakki (Sakti Makki), Afterhours
(Lans Brahmantyo), Avigra (Ardian Elkana), di Yogyakarta: Petakumpet (M
Arief Budiman) dan di Bali: Matamera (Arief “Ayip” Budiman). Jenis
pekerjaan hampir spesifik: brand/corporate identity, annual report,
company profile, marketing brochure, packaging, calendar.
No comments:
Post a Comment