Wednesday, December 4, 2013

Sejarah Desain Indonesia (Part2)

22 Januari 1998: Kurs rupiah menembus 17.000,- per dolar AS.

Setelah berpuluh-puluh tahun terbuai oleh pertumbuhan yang begitu mengagumkan, tahun 1998 ekonomi Indonesia mengalami kontraksi hebat. Krisis dengan cepat merambah ke semua sektor. Puluhan, bahkan ratusan perusahaan, mulai dari skala kecil hingga konglomerat, bertumbangan. Sekitar 70 persen lebih perusahaan yang tercatat di pasar modal juga insolvent atau nota bene bangkrut. Perusahaan-perusahaan desain grafis pun tidak luput dari hantaman krisis ini, satu per satu ditutup karena sebagian besar klien mereka berasal dari sektor-sektor yang paling terpukul: perbankan, konstruksi dan manufaktur. Hanya studio kecil dengan dua atau tiga orang staf saja yang bisa bertahan karena overhead-nya kecil, studio besar yang mampu bertahan pun dipaksa memangkas drastis jumlah stafnya.

Forum Desainer Grafis Indonesia (FDGI) berdiri

Di tengah kekosongan organisasi yang mewadahi profesi ini, pada awal tahun 2000 Forum Desainer Grafis Indonesia (FDGI) diwacanakan oleh 3 orang desainer yang juga pengajar desain grafis yaitu Hastjarjo B Wibowo, Mendiola Budi Wiryawan dan Arif PSA. FDGI diresmikan bersamaan dengan penyelenggaraan Pameran Poster “Melihat Indonesia Damai” tanggal 6-14 Juni 2003 di Bentara Budaya, Jakarta. Selanjutnya pada rapat kerja FDGI di Cibubur 11 Juli 2003 dihasilkan perubahan nama organisasi menjadi Forum Desain Grafis Indonesia (FDGI) dengan tujuan untuk menjangkau pemangku kepentingan di luar desainer grafis. Pada tanggal 7-11 September 2005 FDGI berhasil mengadakan pameran poster internasional “Light of Hope for Indonesia” di arena FGDexpo 2005.

Transformasi ADGI menjadi Adgi (Indonesia Design Professionals Association)

Pada tanggal 8 September 2005 dalam acara “Gathering and Talk Show-It’s Graphic Designers United!” di arena FGDexpo 2005, Jakarta Convention Center yang diselenggarakan oleh FDGI, diterbitkan Memorandum ADGI kepada Gauri Nasution, Danton Sihombing, Hastjarjo B Wibowo dan Mendiola B Wiryawan untuk mempersiapkan Kongres ADGI dalam waktu 6 bulan. Pada bulan Oktober 2005 para penerima mandat membentuk Tim Revitalisasi ADGI sebanyak 16 orang yang bekerja selama 5 bulan untuk merumuskan platform “Adgi Baru”. Berdasarkan evaluasi terhadap kinerja ADGI pada masa lalu dirumuskanlah branding platform Adgi baru yang hadir dengan deskripsi Indonesia Design Professionals Association. Kata Adgi menjadi nama, bukan lagi akronim (ADGI).

Kongres Nasional Adgi pertama

Pada tanggal 19 April 2006 bertempat di Ballroom Hotel Le Meridien, Jakarta diselenggarakan Kongres Adgi dimana terpilih formasi presidium yang terdiri dari 5 orang yaitu Andi S Boediman, Danton Sihombing, Hastjarjo B Wibowo, Hermawan Tanzil dan Lans Brahmantyo untuk mengemban tugas memimpin Adgi selama periode 1 tahun dengan mengusung tema “Unifying Spirits”. Pada 16-30 Agustus 2006 presidium ini berhasil menyelenggarakan pameran “Petasan Grafis” di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta dengan sub-judul “Pameran Nasionalisme Indonesia dalam Desain Komunikasi Visual”.

Kongres Nasional Adgi kedua

Pada tanggal 19 April 2007 dilaksanakan Kongres Nasional Adgi kedua di gedung Galeri Nasional, Jakarta. Melalui mekanisme pemungutan suara, Danton Sihombing terpilih sebagai Ketua Umum Adgi 2007-2010. Kemudian bersamaan dengan diselenggarakannya FGDexpo 2007 pada 8-12 Agustus 2007 Adgi menggelar pameran poster international “One Globe One Flag”di Jakarta Convention Center.

Dari Adgi kembali ke ADGI

Pada tanggal 9 November 2007 Adgi menyelenggarakan “Adgi Jakarta Chapter-Member Recruitment and Gathering Night 2007 di Forbidden Citi, Jl. Wijaya I No. 55, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Pada peristiwa ini disampaikan antara lain perubahan nama asosiasi dari Adgi-Indonesia Design Professionals Association menjadi ADGI (Asosiasi Desainer Grafis Indonesia), kembali ke nama yang disepakati pada Konggres IPGI ke I di Jakarta Design Center tanggal 7 Mei 1994.

Demikianlah gambaran singkat perjalanan IPGI hingga menjadi ADGI, kemudian dari ADGI menjadi Adgi dan akhirnya kembali menjadi ADGI. Sampai uraian ini selesai ditulis, ADGI telah melaksanakan fungsi nasionalnya lewat pemberdayaan chapters di seluruh Indonesia, yang saat ini terdiri dari Adgi-Jakarta-chapter, Surabaya-chapter, Bali-chapter, Yogyakarta-chapter dan Bandung-chapter (dalam pembentukan).

Ajang penghargaan desain grafis pertama berskala nasional di Indonesia

Pada tanggal 4 Juli 2009 diadakan konferensi pers IGDA (Indonesian Graphic Design Award) 2009 di Galeri Foto Jurnalistik Antara, Jakarta yang sekaligus menandai dimulainya ajang penghargaan desain grafis pertama berskala nasional ini. IGDA diselenggarakan agar tercipta suatu standar bagi kualitas desain grafis Indonesia, yang setiap tahunnya dinyatakan kepada publik nasional dan internasional sehingga kelak eksistensi desain grafis Indonesia bisa diperhitungkan dalam lingkup global.

Desain grafis Indonesia di jagat industri dunia

Pertumbuhan selalu berawal dari riak kecil, berhimpun menjadi gelombang, dan gelombang lebih besar lagi yang akhirnya membentuk desain grafis Indonesia seperti sekarang ini. Desainer grafis Indonesia kini bisa dengan bangga menyatakan bahwa desain grafis Indonesia telah menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Hampir semua sektor membutuhkan sentuhan desainer grafis. Pendidikan desain grafis pun berada di puncak pertumbuhan seperti yang belum pernah dialami sebelumnya. Hingga sekarang sekitar 70an pendidikan tinggi DKV telah dan segera berdiri di Medan, Palembang, Jakarta, Bandung, Cirebon, Semarang, Yogyakarta, Salatiga, Solo, Malang, Surabaya, Bali, Makassar dan menyusul di beberapa kota lainnya. [7]

Desain grafis Indonesia kini juga telah memiliki dua media cetak: Concept (2004) dan Versus (2008), serta forum maya DGI (Desain Grafis Indonesia) pada alamat www.desaingrafisindonesia.co.cc (sekarang: DGI-Indonesia.com) yang diluncurkan pada Maret 2007, juga Jurnal Grafisosial (2007) di http://grafisosial.wordpress.com. Situs DGI adalah embrio dari Museum (to be) DGI yang akan dibangun di Chandari, Ciganjur, Jakarta Selatan.

Stabilitas ekonomi yang terjaga paska krisis, telah menumbuhkan jumlah perusahaan desain grafis di berbagai daerah. Di Jakarta saja untuk menyebut beberapa di antaranya: Inkara Design (Danton Sihombing, Ilma Noe’man), DesignLab (Divina Natalia), Whitespace Design (Irvan N Suryanto), Kineto (Djoko Hartanto), Octovate (Bernhard Subiakto), Banana Inc. (Nico A Pranoto), Jerry Aurum Design (Jerry Aurum), Mendiola Design Associates (Mendiola B Wiryawan), Roundbox (Bima Shaw), Nubrain Design (Ato Hertianto), Fresh Creative (Imelda Dewajani), AhmettSalina (Irwan Ahmett), Crayon Design (Melvi Samodro), Halfnot Indesign (Heri Mulyadi), Thinking*Room (Eric Wijaya), LumiĆ©re (Ismiaji Cahyono), Paprieka (Eka Sofyan), Songo (Hastjarjo B Wibowo, Hagung Sihag, Arif PSA), Neuborn (Vera Tarjono) dan masih banyak lagi.

Tidak sedikit pula desainer-desainer muda Indonesia berkarya dan sukses di luar negeri: Henricus Kusbiantoro (Senior Art Director-Landor Associates, San Francisco), Lucia C Dambies (Head Designer-Wharton Bradley Mack, Newcastle), John Kudos (Principal-Studio Kudos, Chelsea), Melissa Sunjaya (Principal-Bluelounge Design, Pasadena), Kalim Winata (Computer-Generated Images Artist-ImageMovers Digital, San Francisco), Yolanda Santosa (Principal-Ferroconcrete, Los Angeles) dan Bambang Widodo (Principal-BWDesign, New Jersey) adalah beberapa di antaranya.

Uraian pendek ini saya tutup dengan mengutip puisi indah M Arief Budiman ketika meluncurkan ADGI Yogyakarta Chapter pada 19 Juni 2008: “Langkah besar itu telah dimulai dengan satu lilin kecil yang menyala kedip-kedip dalam hembus angin malam. Tapi nyala lilin itu menular, terus menular dan memenuhi kota. Merembet menembus batas-batas dan menerangi gelap sebuah negara. Lalu menyeberang laut dan menerangi dunia kecil kita ini.

No comments:

Post a Comment